Rabu, 03 November 2010

Jamu akan Masuk dalam Resep Dokter

JAKARTA--MICOM: Potensi jamu untuk pengobatan cukup besar di Indonesia. Apalagi gaung back to nature yang melanda dunia, banyak orang kembali ke herbal dibandingkan obat kimia.

Sayangnya di Indonesia, meski jamu sudah dikonsumsi dan diturunkan ke tiga generasi, produk tersebut belum bisa naik kelas. Jamu belum dianggap sebagai obat alternatif dan preventif.

Seperti dikatakan oleh Dr Hardhi Pranata selaku Ketua Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), saat ini jamu atau herbal akan didorong menjadi bagian dari pengobatan yang diakui oleh para dokter.

"Tahun 2007 Presiden SBY menginginkan agar jamu dipakai dalam resep dokter. Tentu tidak mudah membiasakan dokter memakai jamu sebagai resep pengobatan. Tapi itu yang sedang kami lakukan menjadikan herbal sebagai pengobatan dan preventif," terang Hardhi di sela-sela konferensi internasional tentang obat herbal yang diselenggarakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Selasa (19/10).

Lebih lanjut Hardhi mengatakan untuk menjadikan jamu sebagai resep dokter, maka bahan-bahan alami yang dibuat untuk jamu harus diketahui khasiatnya.

"Memang untuk menjadikan jamu atau obat herbal lainnya sebagai fitofarmaka memakan waktu lama, dan biaya cukup mahal. Maka cara yang paling cepat dengan pendekatan ilmiah atau scientific jamu," tambahnya.

Terlebih lagi potensi ekonomi cukup besar di sektor obat herbal ini. Pasar obat herbal Indonesia pada 2003 sebesar Rp2,5 triliun, dan meningkat menjadi Rp8 triliun-Rp10 triliun pada 2010.

Dalam kesempatan itu, Indah Yuning Prapti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat Tradisional Balitbangkes Kementerian Kesehatan yang berada di Temanggung, Jawa Tengah, menerangkan untuk menjadikan jamu sebagai resep dokter, para dokter dan apoteker akan dilatih selama 50 jam seminggu di Temanggung, untuk belajar tentang khasiat bahan-bahan alami berkhasiat untuk jamu pada November mendatang.

Bahkan sudah ada 12 rumah sakit di seluruh Indonesia yang sudah menggunakan herbal sebagai pengobatan. Adapun 12 rumah sakit itu adalah RS Persahabatan Jakarta, Pusat Kanker Nasional Dharmais Jakarta, RS Sardjito Yogyakarta, RS Karyadi Semarang, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Dr Sutomo Surabaya, RS Syaiful Anwar Malang, RSAL Mintohardjo Jakarta, RS Pirngadi Medan, RS Kandou Manado, RS Sanglah Bali, dan RS Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Selain itu, langkah lain yang ditempuh adalah pembentukan komite science jamu, yang nantinya akan mempercepat upaya jamu menjadi fitofarmaka (obat jamu lulus uji klinis).

"Kalau menempuh jalur dari herbal ke fitofarmaka memang lama, maka dengan pendekatan ilmiah atau scientific ini bisa mempercepat proses fitofarmaka. Caranya tumbuhan berkhasiat yang biasa untuk bahan jamu diteliti khasiatnya untuk dijadikan bukti ilmiah. Saat ini ada 3000 item produk herbal baik berupa jamu, suplemen kesehatan, herbal terstandar atau fitofarmaka," terang Indah.

Hanya saja, dari sekian banyak item itu yang masuk dalam kategori fitofarmaka baru empat yakni obat fitofarmaka untuk antikokestrol, asam urat, antihipertensi, dan antihiperglikemi.

Untuk menuju fitofarmaka ini, para industri herbal juga harus memperhatikan kualitas bahan tanaman sehingga tidak mengurangi kualitas. Para petani yang menanam tanaman herbal pun wajib diberi pelatihan, untuk menjaga kualitas dan khasiat.
Komisi scientific tersebut akan dibentuk di Bali pada 20 Oktober ini. Kepala BPPT Marzan A Iskandar yang ikut hadir dalam acara tersebut menyatakan kesanggupannya membantu dalam bidang pembuktian ilmiah, baik dari segi dana maupun sumber daya manusia. (OL-3)

Sumber:
Media Indonesia, Selasa, 19 Oktober 2010 22:02 WIB .

Share/Bookmark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar